Jakarta, Perdagangan bayi dengan modus adopsi menjadi perhatian serius Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri. Menurut Direktur Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Handayani Ningrum, tindakan ini merugikan para orang tua biologis yang kehilangan hak dan mengabaikan kewajiban untuk membesarkan anak mereka. Ia menegaskan perbuatan ini melanggar Hak Asasi Manusia sekaligus bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tentang Perlindungan Anak di Indonesia. "Perdagangan bayi dengan kedok pengangkatan anak melanggar prinsip HAM karena bayi-bayi yang diperdagangkan dianggap sebagai objek dagangan, bukan individu yang memiliki hak-hak dan martabat manusia," tegas Direktur Dafdukcapil Handayani Ningrum dalam pernyataan resminya di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 4 menegaskan, setiap anak berhak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. "Ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, termasuk non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak," kata Direktur Ningrum. Namun, perdagangan bayi yang dikemas dengan pengangkatan anak menjadikan pengangkatan anak sebagai sarana perdagangan anak-anak. Hal ini merusak tujuan hakiki dari pengangkatan anak, yaitu memberikan kehidupan lebih baik untuk masa depan yang lebih baik pula. "Tindakan ini juga berdampak pada status pencatatan sipil anak, karena pengangkatan anak yang dilakukan secara ilegal tidak terdaftar secara resmi," jelasnya.
Jika pengangkatan anak secara resmi/legal, artinya, pengangkatan anak sesuai dengan aturan perundang-undangan. "Maka perdagangan bayi berkedok adopsi ini sangat sulit terealisasi, mengingat proses hukum pelaksanaan pengangkatan anak, pada prinsipnya melalui 2 tahap, yaitu tahap pelaksanaan pengangkatan anak melalui rekomendasi pemberian izin pengangkatan anak oleh Kementerian Sosial, dan penetapan/putusan pengadilan. Tahap selanjutnya, pencatatan pengangkatan anak oleh Dinas Dukcapil kabupaten/kota, yang merupakan penerbitan alat bukti autentik terhadap pengangkatan anak tersebut. Ningrum berpandangan, untuk mengatasi masalah perdagangan anak ini, penting untuk memperkuat penerbitan akta kelahiran semenjak seorang bayi baru dilahirkan, dan mencatat nama orang tua biologis pada akta kelahiran anak.
"Meskipun ada anak yang dicatat dalam KK orang tua angkat, maka pada kolom 'Status Hubungan Dalam Keluarga' (SHDK) boleh ditulis sebagai anak, namun dalam kolom ayah dan ibu tetap dituliskan nama ayah dan ibu biologis-nya," tegas Ningrum. Begitu juga pada akta kelahiran ditulis nama orang tua, dan setelah adanya penetapan pengadilan tentang pengangkatan anak, maka dibuat catatan pinggir pada akta kelahiran si anak. Dengan demikian, anak tidak kehilangan asal-usul dan nasab keturunannya. "Langkah-langkah ini akan memastikan anak-anak yang diangkat secara sah dan melalui proses yang benar memiliki pengakuan hukum dan akses penuh terhadap hak-hak mereka," tambah nenek 7 cucu ini. Sementara Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi ikut menjelaskan, proses hukum pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi anak pada prinsipnya melalui dua tahapan. Pertama, yakni tahap pelaksanaan pengangkatan anak (penetapan/putusan pengadilan atau adat kebiasaan). Dan yang kedua, tahap pencatatan pengangkatan anak.
"Pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan atau putusan pengadilan, pada hakikatnya merupakan keputusan hukum mengenai keabsahan suatu pengangkatan anak," ujar Dirjen Teguh. Sedangkan pencatatan pengangkatan anak, merupakan pembuatan/penerbitan alat bukti otentik terhadap pengangkatan anak tersebut. Keluaran pencatatan pengangkatan anak berupa catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran. Teguh menjelaskan, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak harus dilakukan melalui proses penetapan pengadilan terlebih dahulu. Dukcapil***